Membangun Ukhuwah Islamiyah

Membangun Ukhuwah Islamiyah
Oleh: Prof. Dr. A. Syafii Maariif


Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarah, tidak terkecuali kita di Indonesia, khususnya sejak periode pasca Perang Shiffien (657-658 M), adalah sulitnya kita membangun perumahan ukhuwah Islamiyah yang mampu bertahan lama. Akar kesulitan itu terutama terletak pada fakta karena sering kandasnya ajaran berhadapan dengan kepentingan dan egoisme pribadi atau golongan. Sekalipun Islam telah memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia secara keseluruhan, persoalan ukhuwah internal umat tetap saja mengganggu langkah kita dalam mencapai tujuan. Gangguan ini akan semakin parah apabila langkah itu menyangkut dimensi politik yang acap kali menggoda itu.
Dengan sedikit pengantar ini, saya akan mencoba mendiskusikan masalah ukhuwah Islamiyah dari sudut etika Al-Qur’an. Berturut-turut akan kita bicarakan tentang etika Al-Qur’an dan etika golongan, universalisme Islam dan Islam di Indonesia, serta kesimpulan yang memuat langkah-langkah yang harus diambil.
Etika Al-Qur’an dan Etika Golongan
Sudah lama umat ini membicarakan mutlaknya ukhuwah Islamiyah bagi sesama muslim, tapi realitas hidup kita sehari-hari tidak selalu mendukung cita-cita itu. Sebagian kita barangkali letih berbicara tentang ukhuwah ini karena umat dalam periode-periode tertentu sejarah tidak menghiraukan sama sekali masalah ukhuwah ini. Perbedaan kepentingan politik adalah di antara sebab utama buyarnya ukhuwah kita.
Politik adalah masalah kekuasaan, dan ia merupakan sesuatu yang memang mutlak bagi pembumian suatu cita-cita. Tanpa kekuasaan, suatu cita-cita akan tetaplah berada di awang-awang, dan dengan kekuasaan diharapkan cita-cita itu akan dikonfrontasikan dengan pengalaman empiris manusia.
Tetapi yang menjadi persoalan dalam sejarah Islam bukan perlu tidaknya kekuasaan itu, sebab kita semua sependapat bahwa kekuasaan itu perlu. Yang menjadi persoalan adalah: untuk apa kita berkuasa. Bila dikaitkan dengan cita-cita Islam, maka jawabannya adalah bahwa kekuasaan itu dipergunakan untuk menegakkan prinsip-prinsip dan cita-cita moral di muka bumi. Visi moral inilah yang sering kali menghilang dari permukaan sejarah Islam, hingga agama sering dijadikan dasar justifikasi bagi status quo suatu kekuasaan.
Tanpa perumusan yang jelas dan tajam tentang tujuan kita berkuasa, dikhawatirkan Islam hanyalah sekedar pakaian luar untuk menyelumuti ambisi-ambisi jahat yang sengaja disembunyikan. Karena umat kita sebagian besar belum lagi terdidik secara baik, maka mereka sering kali dipermainkan oleh para politisi Muslim yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya cita-cita moral ini dijadikan pangkal tolak bagi setiap kegiatan politik Islam. Dan semuanya ini hanyalah mungkin menjadi kenyataan bila orang mau berangkat dari etika Al-Qur’an, bukan etika golongan, suku, bangsa dan warisan leluhur. Tentang etika Al-Qur’an, kita dapat merujuk pada surah-surah Al-Hujurat: 10, 13, dan 15; Al-Nisa’: 58; Al-Nahal: 90; Al-Maidah: 8; Al-Zumar: 18; dan Al-Baqarah: 256. Semua ayat ini mengemukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi yang harus dijadikan landasan utama bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tapi prinsip-prinsip ini akan tetap mengawang-awang bilamana manusianya berkualitas rendah, dalam arti tidak punya kejujuran, bersifat materialistik dan bervisi dangkal. Cita-cita Al-Qur’an hanyalah mungkin membumi bila didukung oleh manusia bermutu, berorientasi jauh melampaui batas-batas bumi, dan punya rasa tanggung jawab besar terhadap Tuhan dan sejarah. Rasa tanggung jawab inilah yang masih lemah pada kebanyakan kita.
Kadang-kadang saya berpikir ekstrem, yaitu apakah umat Islam yang ada sekarang ini punya kemampuan untuk memikul amanat Tuhan sebagai khalifah di muka bumi? Amanah ini berupa perintah Allah kepada manusia beriman terutama untuk menegakkan suatu tata kehidupam bermoral yang dapat dirasakan sebagai rahmat oleh umat manusia secara keseluruhan. Islam datang bukan untuk menebarkan kebencian, malapetaka, dan kecemburuan rasial, sekalipun ada di antara umatnya, pada periode-periode tententu dalam sejarah , dapat berbuat hal-hal yang bertentangan dengan etika Al-Qur’an itu. Namun karena Al-Qur’an masih dibaca, ada saja sekelompok umat yang memperingatkan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam. Oleh sebab itu, prinsip saling mempengingatkan sesama umat Islam perlu dihidupkan dan dikembangkan terus menerus. Yang harus diperhatikan adalah bahwa peringatan itu harus disampaikan secara bijak dan ikhlas.
Universalisme Islam dan Islam di Indonesia.
Islam muncul ke permukaan sejarah dalam setting sosio-kultural tertentu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa Al-Qur’an tidak membabat habis semua warisan kultural Arab pra-Islam, selam warisan itu tidak bertentangan dengan wahyu. Adapun yang bertentangan, seperti perbuatan syirk yang melekat di jantung orang Arab pra-Islam memang tidak diberi ampun. Syirk dengan segala atributnya dihancurkan oleh tauhid dengan segala implikasinya. Adapun kebiasaan menghormati tamu yang menjadi bagian dari keberadaan orang Arab sepenuhnya dikokohkan Al-Qur’an.
Universalisme Islam haruslah difahami sebagai ajaran yang fitri, manusiawi, dan bernilai universal. Artinya, ajaran Islam, bila dipahami dengan benar dan akurat, akan dapat dihayati, diapresiasi, dan bahkan diterima oleh siapa saja yang terbuka mata-batinnya. Hambatan-hambatan sejarah, kultural, dan sosiologis tidak banyak artinya bagi penerimaan ajaran Islam sejati. Ajaran tauhid dan egalitarian adalah di antara ajaran Islam yang bernilai universal itu. Tauhid membebaskan manusia dari segala ikatan duniawi dalam mencari kebenaran, sedangkan pesan egalitarian yang membuahkan persaudaraan hakiki adalah manifestasi lain dari prinsip tauhid itu. Manifestasi penting lainnya ialah sikap toleransi. Sikap toleran ini tidak saja ditujukan kepada sesama Muslim, melainkan juga terhadap pemeluk agama lain - bahkan terhadap kaum ateis, sepanjang mereka tidak mengganggu keamanan umat Islam. Hak untuk menjadi kafir – sudah tentu dengan segala resikonya – sebenarnya dibenarkan oleh Al-Qur’an (lihat, Surah Al-Kahfi: 29; Al-Isra: 107). Dalam surah Yunus ayat 99 Al-Qur’an tegas-tegas mengatakan: “Dan sekiranya Tuhan menghendaki, tentu telah berimanlah penduduk bumi seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga (semuanya) menjadi beriman?”
Dari ayat-ayat Al-Qur’an ini dapat dipahami bahwa paksaan dalam bentuk apapun agar orang lain beriman adalah bentuk tindakan tidak etis dan bertentangan dengan kemauan Allah. Dengan demikian bila hal ini terjadi, ia merupakan tindakan amoral. Untungnya, dalam sejarah Islam, tindakan paksaan semacam ini jarang terjadi, sebab Al-Qur’an memang gamblang dalam masalah ini. Sikap Al-Qur’an dalam masalah iman ini adalah sikap yang sangat dewasa dan “modern”. Sikap ini adalah bagian dari prinsip universalisme Islam yang datang ke Indonesia memang dikenal sebagai Islam yang toleran, bahkan dalam beberapa kasus, agak terlalu toleran.
Kembali kepada pokok pembicaraan kita , ukhuwaaah Islamiyah hanyalah mungkin diwujudkan secara utuh dan tidak sekedar untuk memberi justifikasi terhadap prakonsepsi kita tentang umat, yang mungkin secara tidak kita sadari berasal dari landasan etika-golongan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus kita ambil ialah membersihkan kecenderungan batin –intelektual kita- yang selama ini mungkin didominasi oleh etika golongan, suku, dan ras- dengan Al-Quran yang difahami secara utuh,jujur dan bertanggung jawab. Langkah kedua ialah kesediaan kita untuk menilai secara kritis seluruh warisan intelektual dan kultural Islam melalui kritik sejarah, dengan ruh Al-quran di otak belakang kita.
Wallahualambishawab.
Penulis adalah Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005)
Sumber Tulisan : Disarikan dari makalah penulis dalam acara Kongres Umat Islam Indonesia IV tanggal 17-21 April 2005 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. 


sumber: http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A121_0_3_0_M
......

Komentar

Postingan Populer