KESALAHPAHAMAN MEMAHAMI ANAK | Dari Buku "Negative Learning"


Kesalahoahaman Orang Tua memhami Anak sering terjadi, dan ini terjadi dalam banyak hal. Ketika terjadi kesalahpahaman memahami anak berakibat pada respon orang tua terhadap perilaku anak bisa tidak proporsional dan tidak mendidik, bahkan bisa menjadi destruktif yang menumpulkan potensi positif dan menyuburkan potensi negatif. Kesalahpahaman memahami anak bisa terjadi dirumah maupun di sekolah.

Banyak terjadi kesalahpahaman memahami anak, Masruri dalam bukunya "Negative Learning" menyebutkan  dari sekian banyak itu, ada tujuh yang paling serius yang sering terjadi.

Pertama, Dunia anak adalah dunia bermain. Anak adalah mahluk gembira yang selalu tampil dan mengerjakan apapun keinginannya dengan penuh kegembiraan. Ini karena anak terbebas dari target-target rigit yang dapat membebani aktifitasnya. Sementara orang tua, selalu dibebani dengan target dari setiap aktifitasnya, sehingga bagi orang tua, mengerjakan sesuatu berarti serius mengejar target, dan serius berarti tidak ada kegembiraan, karena kegembiraan hanya ada pada aktifitas yang dilakukan tanpa target, seperti bermain, melancong, dan sebagainya.
Orang tua sering mempertentangkan keduanya, dunia anak dunia bermain, sedang dunia orang tua dunia serius. Ini keliru. Sesungguhnya dunia anak disamping dunia bermain sekaligus dunia belajar. Maksudnya, bagi anak-anak serius dan gembira adalah dua hal yang menyatu pada dirinya. Mereka selalu gembira dalam keseriusannya dan selalu serius dalam kegembiraannya. 
Jadi, dunia anak adalah dunia belajar, karena ketika anak-anak 'bermain', sesungguhnya mereka sedang 'serius belajar', dimanapun dan kapanpun.

Kedua, Anak adalah makhluk Sangat Lemah. Kebanyakan orang menganggap anak adalah mahluk sangat lemah yang harus dilindungi dan tidak boleh 'terbebani'. Sehingga kita tidak berani mengajari anak. Padahal sesungguhnya anak adalah mahluk yang sangat besar energinya, baik psikhologis, fisik, maupun intelektualnya.
Betapa anak saat terjaga tidak pernah bisa diam. Ada saja aktifitasnya, dan ada saja yang mereka tanyakan. Bahkan ketika itu kita bisa kelelahan meladeninya. Yang 'terbebani' justru orangtualah, yang lelah dalam mendampingi belajar anak dan lemah dalam melayani kecerdasannya.
Jadi, anak bukanlah mahluk sangat lemah yang harus dibatasi gerak dan imajinasinya. Sebaliknya, dia adalah mahluk cerdas dan kuat, yang harus terus dibimbing dan dikembangkan.

Ketiga, Anak mudah dibohongi. Orang dewasa menyangka bahwa setiap anak sangat mudah dibohongi.  Banyak orang tua sangat gemar membohongi anak. Ini sebuah kekeliruan. Sebab, anak itu mudah percaya, karena bagi anak, setiap informasi adalah benar, serius, dan penting, sehingga semua informasi yang datang padanya akan diserap dan mengendap. Jadi, jika kita memberikan informasi bohong, kita akan kesulitan mengoreksinya kembali dan diperlukan tidak sedikit energi kognisi.
Jadi, kebohongan sekecil apapun harus kita hindari, karena setiap kebohongan pada akhirnya hanya akan melukai akalnya dan sama sekali tidak berguna.

Keempat, Orang Tua Berkuasa terhadap Anaknya. Banyak anak telah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan pribadinya, karena orang tua selalu campur tangan dalam setiap aktifitasnya, bahkan sampai pada persoalan yang sangat teknis. Orang tua merasa harus berkuasa terhadap anaknya dan anak harus tunduk patuh kepada apa pun keinginan orang tua.
Padahal, anak adalah jiwa. Dia punya hati, rasa, dan selera yang unik, hanya miliknya. Jiwa tidak bisa dan tidak boleh dikuasai. Jiwa harus dibimbing dan dihidupkan. Inilah hakikat pendidikan, dan inilah kewajiban orang tua kepada anaknya.

Kelima, Anak selalu memerlukan pertolongan. Banyak orang tua karena kasih sayangnya atau ketidaksabarannya atau tidak tega segera memberikan pertolongan (teknis) kepada anaknya. Padahal, sebenarnya anak tidak suka dengan hal itu, karena, untuk semua hal, anak merasa bisa dan harus mencoba!. Tindakan 'segera menolong' justru menghilangkan kesempatan dan semangat belajar anak, karena setiap kesulitan adalah pembelajaran, dan setiap pembelajaran akan membawa kemajuan.

Jadi, yang dibutuhkan anak adalah petunjuk cara agar mereka bisa, bukan pertolongan teknis yang akan mematikan kreatifitasnya.

Keenam, Kata-kata Orang Tua Merupakan Nasihat Utama. Kebanyakan orangtua mengartikan nasehat sebagai untaian kalimat indah yang penuh dengan hikmah, sehingga kebanyakan dari mereka lebih memilih cara 'berkata' dalam menasehati anaknya. Padahal, sesungguhnya, nasehat utama bagi anak adalah 'perilaku orang tuanya'. Kata-kata, betapapun indahnya, tanpa perilaku yang nyata hanya akan berlalu, bahkan berakibat penentangan dari anak. Jadi, yang harus kita lakukan yang lebih berguna adalah perilaku tanpa kata-kata, bukan kata-kata tanpa amal nyata.

Ketujuh, Masa depan anak adalah masa ketika dewasanya. Banyak orang menganggap bahwa kehidupan anak akan berakhir setelah kematiannya, sehinngga hanya mempersiapkan anak hanya untuk keperluan masa dewasanya saja, tanpa perlu memikirkan setelah kematiannya, yaitu kehidupan akhirat. Sehingga pendidikan anak biasanya hanya diorientasikan untuk bekal pekerjaannya ketika dewasa, pendidikan diorientasikan hanya pada kecerdasan intelektualnya saja, sementara kematangan sosial dan komitmen moralitasnya justru diabaikan. Akibatnya, anak hanya berkembang secara intelektual, tetapi mengalami problem emosional akut, sehingga kecerdasannya justru menjadi potensi besar munculnya persoalan sosial bagi dirinya.
Sementara itu, bekal untuk kehidupan akhirat seperti diabaikan, padahal sebenarnya, ketika tiba kematian bagi anak kita atau kita, itu hanyalah awal atau pintu bagi kehidupan yang lebih besar lagi yaitu kehidupan akhirat. Bahwa kebahagian dan kesusahan di akhirat adalah semuanya akibat seluruh amalanya selama masih hidup.

Itulah sebuah realita yang sering kita lakukan, kita masih melakukan sesuatu yang kita anggap baik walau sebenarnya keliru. Kita masih sering melakukan pembelajaran yang salah. Sudah seharusnya kesalahpahaman ini harus diakhiri, sehingga kita mampu mendidik, membersamai, dan membimbing anak-anak kita secara positif, untuk mewujudkan anak-anak yang sholih dan sholihat. Yang mampu merengkuh dunianya dengan bahagia dan merengkuh akhiratnya dengan bahagia pula. Wallahu a'lam Bishowab.


Sumber :
Buku "Negative Learning", Penulis Masrur, Penerbit Era Intermedia

Komentar

Postingan Populer