Sebotol Kebajikan

SEBOTOL KEBAJIKAN

Oleh : Agus Iman Santoso

Baru tiga hari ini menjalani kebiasan baru di tempat tugas yang baru. Setiap pagi berangkat dari rumah menuju tempat kerja dengan menggunakan angkot, maklum masih belum dapat mobil operasional/dinas. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu lama seharusnya cukup 20 menit. Tapi biasalah ritual sebuah angkot, jadi waktunya bertambah untuk menaikkan dan menurunkan penumpang sekitar 10-15 menit. Apalagi jika yang naik kebanyakan para pedagang pasar,  karena posisi pasar itu sebelum tempat tugas,  waktu tempuhnya menjadi bertambah 20 menit  untuk bongkar barang dagangan.

Pada hari pertama, ketika duduk dalam angkot suasananya  begitu nyaman dan segar. Rupanya ada seorang penumpang yang menggunakan parfum yang membuat suasana seperti itu. Bahkan ketika penumpang itupun turun aromanya masih tetap melingkupi ruangan angkot. Sopir angkotpun angkat bicara, tanpa bayarpun saya bersedia mengangkut orang tersebut. Dan ada seorang penumpang yang menimpalinya, saya sudah sering naik angkot rute ini, hanya pemuda itulah yang paling saya kenal karena aroma parfumnya.


Kebetulan pada hari kedua, penumpang yang naik kebanyakan para pedagang ikan. Sudah terbayang bau amis akan menyengat sepanjang perjalanan. Aroma badan yang belum mandi saja tertutupi dengan bau amis ikan. Terpaksa sapu tangan dikeluarkan untuk menutupi hidung. Sementara penumpang yang duduk disebelah sesekali menutup hidung dengan tangannya. Berbeda dengan para pedagang ikan, mereka duduk dengan nyaman sambil berbincang-bincang dengan temannya. Aroma parfum yang disebarkan pada baju kerja ini, rupanya tidak mampu meredam bau amis yang sedemikian menyengat. Dominasinya terkalahkan. Haruskah esok hari penggunaan parfumnya menggunakan dosis yang lebih tinggi sehingga mampu mengalahkan bau amis atau bau yang menyengat lainnya. Tapi apa kata teman-teman dikantor jika hal itu dilakukan. Mungkin akan ada komentar "Ini toko parfum pindah ke kantor". Belum lagi selera hidung masing-masing orang tentu berbeda-beda dengan aroma parfum.


Suasana angkot pada hari yang ketiga berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada aroma yang begitu menyengat, baik yang harum maupun yang busuk, udara serasa netral, sejuk dan alami. Karena kebetulan penumpang yang naik dilihat dari penampilannya adalah para pegawai kantoran. Aroma parfum masing-masing sepertinya mempertahankan diri pada tuannya dari pengaruh parfum yang lainnya. Hanya ketika kepala ini agak condong ke kiri atau ke kanan, maklum orang baru jadi masih perlu pengenalan medan, aroma parfum penumpang di sebelah kiri maupun kanan baru tercium.


Bagaimana dengan suasana pada hari-hari berikutnya ya.... Tentu sebuah catatan perjalanan yang akan bernilai jika kita mampu menangkap dan mengungkap hikmah yang terkandung di dalamnya.


Perenungan awal yang dapat saya kemukakan di sini adalah menganalogikan parfum itu dengan amal kebajikan. Hari pertama saya mendapatkan pelajaran seseorang yang bukan hanya mampu mengharumkan dirinya tapi juga lingkungannya. Bahkan ketika umur membatasi dirinya, keharuman itu masih tertinggal. Sedikit memang jumlah orang seperti ini. Kebajikannya bukan hanya dirasakan oleh dan untuk dirinya tapi mampu dirasakan dan ditularkan kepada orang lain. Bahkan mampu meninggalkan kerinduan ketika dia harus pergi dan mendorong orang lain untuk berniat seperti dirinya.


Hari kedua cukup menantang analoginya. Ketika dalam kesendirian dibutuhkan sumber daya yang luar biasanya banyaknya. Lingkungan disekeliling seringkali menenggelamkan kebajikan-kebajikan yang bernilai biasa atau ala kadarnya yang dilakukan oleh seseorang. Dibutuhkan kebajikan-kebajikan yang bernilai luar biasa ketika lingkungan yang ada tidak terlalu kondusif. Kebajikan ini kadangkala dipandang aneh, syok alim, atau hinaan serta ejekan-ejekan bahkan ancaman. Isitilahnya sebotol kebajikan untuk menyirami sebatang korek api. Kayaknya para negarawan nih yang perlu melakukannya.


Nah kalo hari yang ketiga, suasananya dah agak kondusif nih. Ketika semua orang sudah sadar dan butuh dengan nilai-nilai kebajikan maka setiap orang akan dengan sendirinya menghiasi diri dengannya. Dan ini yang dibutuhkan oleh kita semua saat ini. Sudah dulu deh sampe sini koq buntu ya... Ya semoga analoginya bisa didiskusikan...eehhh bisa direalisasikan mangsudnya... 



Sumber : http://aimans1172.blogspot.com/ 


*Mas Bekti : Agus Iman Santoso,  kelahiran Lumajang Jawa Timur adalah Aktifis Dakwah yang melanglang buana dari kota ke kota dari satu pulau ke pulau lainnya. Beliau pernah dinas dan tinggal di Kota Pekalongan, saat ini beliau berdinas dan tinggal di Kendari Sulawesi Tenggara.

Komentar

Postingan Populer