Anak Kreatif 2 : Kreatif Tidak Berarti Fasilitas Harus Lengkap

Kreatif Tidak Berarti Fasilitas Harus Lengkap 
Tulisan kedua, Semua anak kreatif. Kreatif tidak berarti fasilitas harus lengkap. Tulisan bersumber dari Buku karya Wahyudin berjudul "maa... aku bisa!" yang diterbitkan oleh Pro-U Media.

Adalah Imam Syafi'i pada umur 7 tahun sudah hafal Al-Qur'an, Umur 10 tahun sudah hafal Kitab Al Muwattha, kitabnya Imam Malik (Gurunya). Umur 20 tahun mendapat izin dari Muslim bin Khalid (gurunya yang lain) untuk memberi fatwa.

Imam Syafi'i sungguh cemerlang, Ali bin Usman mengomentari : "Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar daripada Syafi'i. Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang menyamai pada masa itu. Ia pintar disegala pengetahuan, sehingga bila ia melontarkan anak panan, dapat dijamin 90% akan mengenai sasarannya".

Kedua orang tuanya bangsawan Quraisy. Dari keturunan ayahnya, Imam Syafi'i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga. Sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Tholib ra.

Imam Syafi'i lahir dalam keadaan yatim. Diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana, bahkan banyak menderita kesulitan. Tetapi, walaupun dalam serba kekurangan, kasih sayang dan cinta yang tulus dari ibunya membawa Imam Syafi'i pada sifat dermawan. Setiap kali menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya, beliau tidak pernah menyimpannya di rumah, melainkan segera dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Sejak kecil, makan tidak sampai kenyang. Menurut beliau, makan sampai kenyang membuat tubuh menjadi malas, membuat hati jadi beku, dan membuat fikiran jadi tumpul. Dan orang kenyang enggan beribadah kepada Allah.

Selama menuntut ilmu, Imam Syafi'i hidup dalam serba kekurangan. Hidup penuh penderitaan. Karena kemiskinan dan penderitaan yang mendera, untuk mencatat pelajarannya beliau mengumpulkan tulang-tulang dan mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah.

Imam Syafi'i yang hampir-hampir tidak memiliki fasilitas apapun, ternyata bisa mencapai kecemerlangan. Beliau sangat cerdas dan kreatif. Beliau menjadi Ulama besar. Kebesarannya masih bergema sampai kini. Dan, Insya Allah akan bergema sepanjang masa.

Kisah tadi memberi bimbingan kepada kita, bahwa kalau kita menginginkan anak-anak kreatif diperlukan rangsangan pada bagian 'dalam' diri anak. Rangsangan dari orang-orang dekatnya, terutama orang tuanya. Yaitu rangsangan pada jiwanya, bukan semata-mata pada fisiknya belaka. Dan rangsangan itu berupa kasih sayang, cinta, dan perhatian yang tulus.

---------------------

Komentar

Postingan Populer