Belajar Tegar pada Bayi

BELAJAR TEGAR PADA BAYI



 ta ti tah
Jalan di sawah
Di gigit lintah
Kakinya berdarah…
Tegak seorang na
Lamo lamo na…
Tak lelo lelo lelo ledhung
Anakku sing gagah dhewe
Besuk gedhe arep dadi opo?

Masih kah ingat dengan ke-3 syair diatas? Syair sederhana yang orang tua nyanyikan saat bayi belajar berdiri atau berjalan. Mungkin kita pun dulu saat bayi mengalami hal yang sama, saat kita dituntun untuk belajar berjalan selangkah demi selangkah oleh ibu atau ayah kita. Sesekali jatuh lalu bangkit lagi, jatuh dan bangkit lagi, sampai akhirnya kita bisa berjalan dengan baik bahkan berlari kesana kemari, kedepan kebelakang, melompat-lompat sambil tertawa lepas. Bermain dengan teman-teman, mengejar layang-layang, menerjang aral rintang di hadapan, tertusuk duri, tertusuk pecahan kaca, lalu kau obati, dan sembuh, lalu mengulanginya lagi berlari dan terus berlari, mengejar dan terus mengejar, sampai apa yang kita mau, apa yang kita inginkan, yang kita harapkan dapat kita raih. Lalu kita pun tersenyum puas, meski sebelumnya harus berdarah karena duri dan pecahan kaca. Yups sekarang kita telah menjadi pemenang “the winner”. Karena memang fitrah kita adalah sebagai pemenang. sejak lahir ke dunia pun kita sudah menjadi pemenang karena telah mengalahkan jutaan sel sperma yang dipancarkan ke sel telur.
Kawan, mari kita renungkan sejenak. Andai saja, jika saja, kita dahulu saat bayi, saat belajar berjalan kita menyerah, karena harus jatuh dan jatuh lagi. Apa yang akan terjadi?? Mungkin sampai saat ini pun kita tak bisa berjalan apalagi berlari. Kita dulu adalah sesosok manusia yang begitu tegar, begitu kuat, tak kenal menyerah, pantang berkeluh kesah, pemberani, meskipun secara fisik terlihat lemah. Lalu siapa diri kita sekarang? Sepertinya 180 derajat kita telah menjadi manusia yang benar-benar berbeda. Memang secara fisik kita terlihat kuat namun secara mental seperti “kukuruyuk”. Kita menjadi orang yang tak yakin dengan kemenangan dan impian. Kita menjadi sosok yang mudah menyerah dan mengeluh. Kita telah lupa dengan sejarah hidup kita sendiri! Bahwa dulu kita adalah sosok batu karang yang tak goyah di terjang ombak lautan.
Apa yang membuat kita menjadi manusia yang berbeda dari sejarah hidup kita?
Pertama Karena fitrah kita untuk mau belajar telah semakin mengikis. Belajar untuk tahu, belajar untuk mengerti, belajar untuk bisa dan belajar untuk mengajarkan. Kedua karena fitrah kita untuk meningkatkan potensi hidup kita semakin sirna, berganti dengan keputus asaan dan pasrah dengan keadaan. Keyakinan kita untuk mewujudkan impian dan harapan selalu terbentur dengan rintangan-rintangan yang belum terjadi. “ah, nanti kalo saya jalan, nanti saya jatuh, trus kaki saya patah, trus di amputasi, ga ah..mendingan diam saja!” coba kita lihat jika seorang bayi putus asa untuk belajar berbicara atau belajar menyebut huruf “R”. apa yang akan terjadi?? Silahkan jawab sendiri. tapi bayi tidak mau menyerah, dia harus bisa bicara, dia ga mau berhenti begitu saja. Dia harus lebih lancar dan fasih dalam berbicara.. dia harus lebih dan lebih!! Bayi tidak pernah pasrah dengan keadaannya saat itu.
Ketiga karena hati dan fikiran kita telah semakin keruh dengan kecintaan kita pada dunia. Sadarilah, hati yang jernih, fikiran yang bersih akan selalu menumbuhkan keyakinan yang memuncak tinggi. Seperti bayi yang lembaran hidupnya masih putih dan bersih maka ia mudah menangkap cahaya kesuksesan yang ia impikan. Sedangkan orang dewasa yang hati dan fikirannya yang telah terkontaminasi dengan berbagai macam “virus” kehidupan, membuat pandangannya menjadi buram bahkan gelap tentang keyakinan akan mewujudkan harapan yang ia impikan.
Lalu apakah kita bisa bangkit kembali?
Kita pasti bisa!! Hal yang mesti kita lakukan adalah meyakini kalau kita mampu menggapai sebuah impian yang kita harapkan. Dan meyakini bahwa dalam menggapai impian pasti akan selalu ada rintangan yang harus dihadapi. Dan yang terpenting adalah meyakini kalau kita mampu menghadapi rintangan yang akan menghadang jalan kesuksesan kita. Karena sudah menjadi sunnatullah, ketika ingin menggapai impian, maka kita akan dihadapkan dengan berbagai macam ujian dan rintangan dari-Nya. “jika ingin menemui fajar, maka bersiaplah menghadapi malam” Menyadari hal ini penting, agar kita tetap bertahan di garis perjuangan. Agar kita tetap optimis disaat yang lain pesimis. Agar kita tetap semangat di saat yang lain menyerah. Agar kita tetap tegar di saat yang lain berkeluh kesah. Terlebih sebagai seorang aktivis dakwah, yang mengemban amanah istimewa dari-Nya. Ujian yang Allah berikan bisa sederas air hujan. Jika kita menyerah dan putus asa tentu kita akan tersisih dari kafilah dakwah yang mulia ini. “dan kereta dakwah akan terus berjalan, dengan atau tanpa kita” (Imam Syahid Hasan Al-Banna).
-abu rafah-

Sumber: 
http://pksjakartautara.blogspot.com/

Komentar

Postingan Populer