Mengapa Harus Kartini ? | Oleh : Cahyadi Takariawan

Mengapa Harus Kartini?


Tiar Anwar Bahtiar


Hari Kartini lagi. Saya selalu teringat tulisan Tiar Anwar Bahtiar, MA, “Mengapa Harus Kartini?” yang pernah dipublikasikan di Republika beberapa tahun silam.
Tulisan Tiar tersebut sama sekali tidak bermaksud menggugat kiprah perjuangan Kartini yang selalu diperingati tiap tanggal 21 April oleh bangsa Indonesia. Namun lebih merupakan upaya meletakkan segala sesuatu secara proporsional. Agar peringatan Hari Kartini diposisikan secara lebih akademis.

Perjuangan Kartini tertuang pada buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911.
Buku ini dianggap sebagai pemikiran besar yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Konon, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu. Benarkah klaim ini? Klaim yang selalu diajarkan di semua sekolah kita setiap memperingati Hari Kartini.

Beberapa sejarawan sudah lama mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak banyak dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan tidak kurang heroik dari yang dilakukan Kartini.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. 

Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Jika Kartini justru dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana Kudus menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau kita cermati kisah-kisah kepahlawanan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita pada masa Kartini hidup, bisa gugur.
Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Mengapa yang demikian terkenal dan diperingati secara nasional adalah Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini?
Kita ingat Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Jika Kartini dianggap memiliki pembelaan yang kuat terhadap Islam, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas.

“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”, begitu kata Rohana Kudus.
Selamat Hari Kartini.

Sumber : Tiar Anwar Bahtiar, MA, “Mengapa Harus Kartini?”, di: http://republika.co.id/koran/155/42947/Mengapa_Harus_Kartini  

Sumber : 
https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan?fref=nf

Komentar

Postingan Populer