Membangun Ukhuwah dalam Kemajemukan


MEMBANGUN UKHUWAH DALAM KEMAJEMUKAN*

ORGANISASI
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).

Agama Islam adalah satu, namun interpretasi terhadap ajaran Islam itu begitu beragam. Munculnya empat arus utama pemikiran (mazhab) dalam bidang fikih; Maliki, Hambali, Syafi’i, Hanafi, merupakan contoh tak terbantahkan bahwa dalam memahami ajaran Islam kaum Muslim berbeda-beda. Dalam bidang teologi (ilmu kalam), apalagi dalam politik, juga terjadi hal yang serupa.

Dalam menyikapi perbedaan pemikiran, mazhab, kelompok, umat Islam terpecah pada dua titik ekstrem. Pertama, kelompok yang membenarkan semua ragam pemikiran. Kelompok ini mengibaratkan Islam sebagai pelangi. Menurut mereka, tidak seorangpun berhak mengklaim satu kelompok sesat karena tidak ada seorang pun yang memiliki ke¬wenangan untuk menentukan siapa yang sesat atau tidak. Mereka mengatakan bahwa Allah-lah yang berhak menentukan hal itu, sementara manusia tidak.

Selain itu, mereka tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Mereka mengklaim bahwa kebenaran mutlak hanya ada di sisi Allah. mereka merujuk firman Allah Swt berikut ini, “Kebenaran itu adalah dari Tuhan¬mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).
Karena itu, menurut mereka, di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, semuanya relatif; benar dan salah tergantung dari sudut pandang yang kita gunakan. Benar bagi kelompok A belum tentu benar bagi kelompok B karena disebabkan perbedaan sudut pandang. Pemahaman kelompok ini cenderung filosofis.

Kelompok kedua berkebalikan dengan kelompok yang pertama. Kelompok kedua meyakini bahwa kelompoknya sebagai yang paling benar. Guna membenarkan pandangan dan keyakinannya mereka mengutip ayat dan hadits yang sesuai dengan keyakinan mereka. Kelompok kedua ini memandang orang di luar kelompok mereka sebagai kelompok bid’ah, sempalan, bahkan musyrik dan kafir. Pemahaman kelompok kedua ini cenderung simplistis dan menyederhanakan masalah.

Lalu, bagaimana kita mensikapi muncul perbedaan pendapat dan aliran serta kelompok di tubuh umat Islam? Lebih penting lagi, apakah perbedaan pendapat merupakan hal yang terlarang (dalam Islam)? Marilah kita telisik pemikiran intelektual asal Mesir, Muhammad Imarah, dalam bukunya Islam dan Pluralitas: Mensikapi Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan guna menjernihkan masalah ini.

Antara Ushul dan Furu’
Menurut Muhammad Imarah, perbedaan bisa menjadi hal yang diperbolehkan (halal) dan bisa juga terlarang (haram). Imarah membangun pondasi pemikirannya pada dua hal, yakni pada masalah prinsip-prinsip Islam (ushul) dan masalah-macalah cabang (furu’).

Berangkat dari hal ini, Imarah berpendapat bahwa perbedaan dalam masalah ushul adalah hal yang terlarang. Menurut Imarah, menyangkut masalah ushul umat Islam hen¬dak-lah menyatukan pemahamannya pada ke¬sepakatan kaum muslim sejak dulu, dari era para sahabat dan tabi’in, sampai sekarang.

Penyimpangan dari The Basic Islamic Mindframe (ushul) tersebut tidak dapat ditoleransi. Menurut Imarah, penyimpangan yang tidak dapat ditoleransi berkenaan dengan masalah-masalah aqidah, dasar-dasar Ibadah dan dasar-dasar Mu’amalah. Masuk dalam kategori ini, misalnya, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw.

Ada pun perbedaan pendapat, pemikiran dan aliran pada aspek-aspek cabang-cabang syari’ah maka hal tersebut dibolehkan dan ditolerir oleh Islam, sepanjang masih didasar¬kan pada dalil-dalil yang kuat dan benar, serta metode pengambilan hukumnya (istinbath ad-dalil) juga telah dilakukan secara benar.

Hal-hal ini biasanya berkaitan dengan masalah wasilah (sarana), uslub (metode) dan style/gaya berbagai aliran dalam memahami dalil-dalil yang multi-interpretatif (masalah-masalah ijtihadiyyah), sehingga ada yang menggunakan qiyas (reasoning by analogy), istihsan (preference), mashalih-mursalah (utility), dan lain sebagainya.

Becermin pada Sikap Ali
Saat ini umat Islam terkotak-kotak dalam pelbagai kelompok. Di Indonesia saja, ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan kelompok-kelompok lainnya dengan ciri khas masing-masing. Perbedaan kelompok ini sejatinya tidak dipertentangkan, tapi disenergikan dalam mewujudkan kemuliaan Islam dan umatnya (izzul Islam wa al-muslimin). Dengan lain kata, pluralitas kelompok ini hendaknya tidak menjadi tembok penghalang menggapai cita-cita tersebut.

Mufti besar Saudi Arabia pernah ditanya mengenai perbedaan berbagai jamaah di negara-negara kaum muslim. Beliau menjawab, “Keberadaan jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap jamah Islam seperti Jama’ah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin, Al-Ikhwanul Muslimin, Asy-Syub¬banul Muslimin, Anshar as-Sunnah al-Mu¬ham-madiyyah, al-Jami’ah asy-Syar’iyyah dan lain-lain bekerjasama satu dengan lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling memaklumi akan sisi-sisi perbedaan diantara mereka”.

Namun, seringkali perbedaan pemikiran dan pandangan serta kelompok tersebut dijadikan ajang untuk saling memusuhi. Keluarlah klaim bahwa kelompok sendiri sebagai kelompok yang paling islami, sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Tidak hanya itu saja, muncul klaim bahwa orang yang diluar kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah, bahkan musyrik dan kafir.
Padahal yang menjadi titik perbedaannya hanya dalam masalah furu’ (cabang), bukan ushul (akidah). Karena itu, cap ahlul bid’ah, musyrik dan kafir, tidak layak disematkan kepada kelompok tertentu sepanjang akidah mereka masih sejalan dengan akidah yang disepakati oleh para ulama salaf (terdahulu).

Mengenai perbedaan pandangan atau pemikiran dalam masalah furu’ (cabang) ini, sikap Ali bin Abi Thalib ra kepada lawan politiknya patut kita contoh. Meskipun perselisihan politik ini sampai melahirkan perang saudara yang berdarah-darah, Ali ra tidak menganggap lawan politiknya sebagai kelom¬pok orang munafik, apalagi kafir.

Suatu ketika Ali ra di tanya pandangannya atau sikapnya terhadap lawan politiknya, apakah mereka yang memeranginya adalah orang kafir. Ali menjawab bahwa mereka, lawan politik Ali ra, adalah orang-orang yang lari dari kekafiran. Ia kemudian ditanya lagi apakah lawan politiknya adalah orang munafik atau tidak. Ali ra menjawab, “Orang munafik adalah orang yang tidak menyebut nama Allah Swt kecuali sedikit, tidak mendirikan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfak kecuali merasa berat”.

Lalu Ali ra ditanya lagi menganai status hukum lawan politiknya dalam pandangan Islam. Beliau menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang memberontak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya”.

Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: “Wahai sekalian manusia! Kita telah berhadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita kepada Allah Swt lebih baik dari mereka, serta pem¬benaran kita kepada Rasulullah Saw lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang men¬jadi masalah kita adalah satu, yaitu perbedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut”.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa apa pun titik perbedaan kita dengan saudara seiman, selama dalam ma¬salah furu’ (cabang), cap ahlul bid’ah, musyrik dan kafir tidak semestinya dilontarkan kepada orang yang berbeda pandangan atau kelompok dengan kita. Setiap kelompok hendaknya menghargai dan memaklumi perbedaan yang ada sehingga perbedaan tersebut tidak merusak jalinan ukhuwah. Wallahu a’lamu bis shawab.

Dikutip dari Facebooknya REMAJA ISLAM AL-JIHAD (RIAD) Cipondoh Makmur Tangerang

Sumber :  http://66.220.149.29/group.php?gid=105279526170161

------

Komentar

Postingan Populer