Seri Tazkiyatun Nafs : Takabur

TAKABUR

Penyakit hati berikutnya (setelah riya dan sum'ah) yang perlu diwaspadai adalah takabur. Bukan hanya orang umum, aktifis dakwah juga bisa terjangkiti penyakit ini.  Artikel tazkiyatun nafs mengenai penyakit yang membuat iblis diusir dari surga ini. Untuk kali ini, akan dimulai dengan definisi takabur.

Definisi Takabur Secara Bahasa (Etimologi)
Secara bahasa (etimologi), takabur berarti “sombong” atau “berusaha menampakkan keagungan diri”. Dalam kitab lisanul Arab, antara lain disebutkan bahwa at-takabur wal istikbar berarti at-ta’azzhum (sombong). Dalam Al-Qur’an pengertian ini digunakan misalnya pada surat Al-A’raf ayat 146:



سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

Allah akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar… (QS. Al-A’raf : 146)

Definisi Takabur Secara Istilah (Terminologi)
Secara istilah (terminologi), takabur berarti sikap seseorang yang membangga-banggakan diri (ujub) yang berakibat pada penghinaan atau meremehkan orang lain serta merasa tidak pantas untuk menerima kebenaran dari mereka.

Pengertian ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ . قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat takabur sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. (HR. Muslim)

Dari hadits ini, selain dijelaskan definisi takabur, juga didapatkan jenis takabur yang dibedakan menjadi dua, yaitu takabur terhadap al haq dan takabur terhadap makhluk. Takabur terhadap al-haq adalah dengan menolaknya, berpaling, dan tidak mau menerima. Sedangkan takabur terhadap makhluk atau sesama manusia adalah meremehkannya, merendahkan, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain.

Semoga definisi takabur ini bermanfaat bagi kita untuk mengidentifikasi penyakit hati itu agar tidak menjangkiti kita.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TAKABUR

Takabur (yang telah kita ketahui definisinya) merupakan penyakit hati tingkat tinggi yang harus diwaspadai oleh semua muslim, termasuk aktifis dakwah. Dikatakan penyakit hati tingkat tinggi karena sejarah iblis laknatullah dimulai dari penyakit satu ini. Merasa lebih tinggi dari Adam, ia lalu mendurhakai perintah Allah untuk bersujud padanya. Abaa wastakbara, kata Al-Qur’an. Demikian pula para penguasa taghut yang menjadi musuh para nabi dan rasul, semuanya dihinggapi penyakit ini.

Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab suatu penyakit, diharapkan kita bisa menghindarinya. Demikian pula dengan takabur ini. Ada beberapa faktor penyebab yang semoga setelah kita mengetahuinya lalu berupaya keras untuk menghindarinya, sebagaimana kita menghindari api yang telah kita ketahui panasnya bisa membakar kita.

Berikut ini adalah sebagian dari faktor penyebab takabur:

1. Salah dalam Memahami Hakikat Dirinya
Iblis sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya terlempar dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat dirinya. Ia lupa betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia adalah makhluk Allah.

Demikian pula orang yang takabur, terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam memandang hakikat dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (QS. As-Sajdah : 8)

Ia tidak ingat ayat ini. Ia tidak menyadari hakikat dirinya. Yang ia tahu ia kini adalah manusia dengan organ yang sempurna, sosok yang hebat, dan wajah yang rupawan. Berbagai potensi yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, mulai dari kecerdasan sampai kekayaan dan kekuasaan, dianggap sebagai milik dirinya sendiri. Hingga segala kelebihan dari fisik hingga akal itu dipahami sebagai hakikat dirinnya.

2. Salah dalam Memahami Hakikat Kemuliaan
Ketika iblis mengaku lebih mulia dari Adam, ia menggunakan parameter yang salah dalam mengukur kemuliaan.

Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS Israa’ : 61)

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS Al A’raaf :12)

Jika iblis memahami hakikat kemuliaan ditentukan dari asal penciptaan, orang seperti Fir’aun memahami hakikat kemuliaan ditentukan oleh kekuasaan. Lalu orang seperti Qarun menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekayaan. Dan orang seperti Haman menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekuatan dan kecerdasan.

Tiga hal yang disebutkan terakhir ini barangkali saat ini amat dominan dipakai sebagai logika kemuliaan. Maka jika kebenaran berasal dari mereka yang tidak lebih berkuasa akan ditolak. Al-haq yang dibawa oleh mereka yang tidak lebih kaya dari dirinya tidak akan diterima. Dan keadilan yang dilantangkan oleh mereka yang tidak lebih kuat dari dirinya juga akan diabaikan.

Ada hal lain yang juga menjadi standar salah dalam memandang hakikat kemuliaan. Misalnya usia, pengetahuan, pengalaman, bahkan jasa. Termasuk dalam dakwah. Maka kadang terjadi aktifis dakwah yang terjebak pada takabur dan tidak mau menerima kebenaran karena merasa usia perjuangannya lebih lama, pengalaman dakwahnya lebih banyak, atau jasanya lebih besar. Hingga ada pula yang karena memandang dirinya adalah qiyadah, maka perbedaan yang dibawa oleh jundiyahnya selalu dianggap salah. Kesalahan dalam memahami hakikat kemuliaan bisa menjerumuskan kita ke dalam ke-takabur-an sebagaimana iblis diusir dari surga dan dilaknat Allah selama-lamanya.

3. Tidak Memiliki Pemahaman yang Benar tentang Hakikat Kebenaran
Ali radhiyallaahu anhu terkenal dengan kata-katanya: ”Lihatlah apa yang diucapkan dan jangan lihat siapa yang mengucapkan.” Seringkali kita memahami maqalah ini sebagai upaya untuk obyektif menilai kebenaran. Namun di sana juga ada nilai bahwa kebenaran akan selamanya benar meskipun datangnya dari siapapun.

Jika kita memiliki standar penilaian yang benar, insya Allah kita akan lebih selamat dari bahaya menolak kebenaran, sebuah sikap yang merupakan inti takabur. Dan kebenaran itu adalah apa yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan Sunnah), siapapun yang mengatakannya.

4. Mengira bahwa Nikmat itu Kekal pada Dirinya
Orang yang takabur biasanya lupa bahwa alasan yang melatarinya untuk berbuat demikian tidaklah abadi pada dirinya. Kenikmatan yang ia rasakan, yang dengannya ia menyombongkan diri hanyalah bersifat sementara. Allah bisa mencabutnya dalam waktu yang cepat dan tak terkira.

Tidak peduli apakah kenikmatan yang kemudian disombongkan itu berupa harta, keturunan, popularitas, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Perihalnya menyerupai orang yang digambarkan Allah SWT dalam salah satu firnam-Nya:

Dan dia memasuki kebun sedangkan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, "Aku kira kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada kebun-kebunku itu." (QS. Al-Kahfi : 35-36)

5. Sikap Tawadhu’ Orang Lain yang Berlebihan
Ini adalah faktor eksternal yang bisa menyebabkan seseorang mejadi takabur. Sebab orang-orang di sekelilingnya terlalu tawadhu secara berlebihan kepada dirinya. Sebab ini sering dijumpai pada pemimpin atau guru yang takabur disebabkan lingkungan seperti ini. Pengikut yang tawadhu', selalu menghormatinya, dan tidak pernah menasehatinya, mengarahkan seseorang berpikiran bahwa ia adalah orang mulia dan jauh dari kesalahan. Guru yang selalu dihormati muridnya dan mendapatkan kemuliaan dari mereka juga berpotensi menganggap dirinya sempurna. Jadilah ia takabur. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga menimpa ulama. Karenanya mencium tangan seseorang baik itu pemimpin maupun ulama dimakruhkan oleh sebagian ulama.


Begitu pula penghormatan dengan berdiri dan berbagai bentuknya. Selain itu merupakan bentuk ketawadhu'an yang memperlemah posisi orang yang melakukan, juga bisa menjadi faktor penyebab takabur bagi orang yang diberi penghormatan.

Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri untuk menghormatinya, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka. (HR. Abu Daud)

Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda:
Janganlah kalian berdiri menyerupai orang-orang yang saling mengagungkan satu sama lain (HR. Abu Daud)

6. Pujian Orang Lain di Depannya Secara Berlebihan
Selain ketawadhuan, pujian orang lain didepan seseorang juga berpotensi membawa takabur pada orang yang dipuji. Karenanya Rasulullah mengingatkan, bahkan dengan tegas kepada orang yang suka memuji orang lain di depannya, apalagi secara tidak proporsional.

Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke muka orang yang suka memuji (HR. Muslim)

7. Lalai terhadap Dampak Buruk Takabur
Orang yang takabur biasanya karena ia lalai terhadap dampak takabur. Kelalaian di sini bukanlah kelalaian secara pengetahuan atau kognitif. Sebab betapa banyak orang yang secara teori hafal dampak buruk takabur tetapi ia tetap melakukannya.

Kelalaian di sini lebih dalam maknanya daripada itu. Yakni memahami dan menyadari bahwa jika ia melakukan takabur dampak buruk dunia akhirat bisa menghancurkannya. Di saat seseorang sadar akan bahaya yang menimpanya, maka ia akan menghindari perbuatan itu. Sementara pengetahuan atau hafalan yang tidak mencegah seseorang dari takabur, belumlah mengeluarkan ia dari kelalaian yang sebenarnya.

Demikian 7 faktor penyebab takabur, semoga dengan mengetahuianya Allah menjadikan kita paham akan sebab-sebab yang bisa menjerumuskan kita pada takabur. Dengan pemahaman itu kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari ketujuh hal itu dan diselematkan dari takabur.


Setelah mengetahui definisi takabur dan faktor-faktor penyebabnya, ada baiknya kita memperhatikan fenomena takabur yang dapat diindikasikan dalam hal-hal berikut ini:

1. Bersikap angkuh ketika berjalan

Diantara fenomena takabur yang mudah dilihat adalah keangkuhan dalam berjalan. Biasanya ditandai dengan mendongakkan kepada atau memalingkan muka; pura-pura tidak melihat orang lain.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman : 18)

2. Gaya bicara yang dibuat-buat (sok)
 
Fenomena takabur yang lain terindikasi dari gaya bicara yang tidak alami. Dibuat-buat untuk mengesankan dirinya memiliki kelebihan dan keutamaan dibanding orang lain, atau dengan tujuan agar tampak kemuliaannya sehingga orang lain menghormati dan merasa lebih rendah dari dirinya.

Sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keterlaluan menjulur-julurkan lidahnya dalam berbicara sebagaimana seekor sapi betina yang menjulurkan lidahnya. (HR. Ahmad)

Maukah kalian aku beritahukan seorang yang paling buruk diantara kalian? Yaitu orang yang banyak berbicara tanpa menggunakan pikirannya. (HR. Ahmad)

3. Menyukai penghormatan orang lain dan tidak suka jika mereka bersikap biasa-biasa saja
Orang yang takabur merasa dirinya besar; lebih tinggi dari pada orang lain. Konsekuensinya, jika orang lain menyatakan setuju dengan anggapannya itu, ia semakin berbangga. Sementara jika orang lain tidak memposisikannya sebagai orang yang lebih mulia, ia membenci orang itu.

Dalam kasus keseharian, ketika orang takabur datang ke sebuah majlis atau pertemuan dan orang-orang berdiri menyambutnya sebagai tanda hormat, ia akan suka dan merasa makin besar. Sedangkan jika orang lain biasa-biasa saja, ada ketidaksukaan yang mendongkol dalam hatinya.

Demikian pula jika ia lewat, lalu orang-orang menyapa atau berdiri memberi hormat, ia akan suka. Sebaliknya, jika orang lain tidak bereaksi ketika ia lewat, ia pun memendam kebencian atas sikap itu.

Rasulullah SAW bersabda tentang fenomena seperti ini:
Barangsiapa yang suka jika orang berdiri menyambut kedatangannya, maka bersiaplah untuk menempati tempatnya kelak di neraka. (HR. Abu Dawud)

4. Tidak mau mendengar nasihat orang lain meskipun benar
 
Orang yang takabur juga terindikasi dari sikapnya yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ia merasa pendapatnya yang paling benar. Idenya yang paling baik. Usulnya yang paling cerdas. Rencananya yang paling akurat. Pemikirannya yang paling brilian.

Kita perlu berhati-hati sebab ini juga bisa terjadi ketika syura (musyawarah). Meskipun pendapat orang lain benar dan ia menyadarinya, tetapi ia tetap bertahan dengan pendapatkan dan memaksa hatinya untuk tetap meyakini pendapatnya yang paling baik serta memaksakan pendapat itu pada orang lain. Sebab bagi orang yang takabur, kekalahan dalam argumentasi berarti jatuhnya harga diri. Terlebih, jika pendapat itu berasal dari orang lain yang secara status sosial maupun pertimbangan dunia lainnya dianggap lebih rendah darinya. Usia, senioritas, bahkan pengetahuan keagamaan bisa masuk dalam kategori ini. Sehingga orang yang takabur tak mau pendapatnya dikalahkan oleh orang yang lebih muda, lebih junior, bahkan lebih sedikit pengetahuan agamanya (dalam aspek kognitif).

Dan jika dikatakan kepadanya, “Bertaqwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang mengakibatkannya berbuat dosa… (QS. Al Baqarah : 204)

5. Senang tampil mendahulu orang lain
 
Fenomena takabur kelima ini tidak sama dengan semangat fastabiqul khairat, meskipun kadang-kadang bedanya tipis dan tak ada yang dapat memastikannya karena ini urusan hati. Namun jika seseorang senang berjalan di depan orang lain, senang menyela pembicaraan orang lain, dan senang bicara maupun tampil terlebih dahulu yang dengan itu ia merasa lebih besar, lebih mulia, dan lebih tinggi maka itulah takabur.

6. Berbuat kerusakan ketika ada kesempatan
 
Pada akhirnya, orang yang takabur akan melakukan kerusakan ketika tiba suatu kesempatan. Entah kerusakan itu hanya berakibat pada satu orang, masyarakat, jamaah, maupun negara dan umat. Tergantung seberapa besar kapasitasnya merusak dan kesempatan yang bisa ia gunakan.

Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (darimu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya… (QS. Al-Baqarah : 204)

Demikian sebagian fenomena takabur. Semoga kita bisa bermuhasabah apakah enam hal itu ada pada diri kita. Jika iya, kita renungkan lebih dalam apa yang ada dalam hati kita. Insya Allah kita akan mampu menilai karena Allah membekali kita dengan fitrah-Nya, biidznillah. Jika ada sifat takabur, semoga itu adalah akhir dari penyakit kita dan awal dari masa kesembuhan. Kita beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penerima Taubat. (Bersambung) []


Sumber: http://muchlisin.blogspot.com

....

Komentar

Postingan Populer