Materi Tarbiyah : Syarat Diterimanya Syahadat (2)
Materi Tarbiyah: Syarat Diterimanya Syahadat (2)
***
Penerimaan (Al-Qabuul)
Syahadat bukan kata-kata biasa. Ia adalah pernyataan, sumpah, sekaligus janji. Dengan demikian, jika kalimat syahadat itu tidak dibarengi dengan penerimaan secara total atas semua kandungannya, maka ia tidak bisa lagi disebut syahadat yang benar.
Setiap orang yang mengikrarkan syahadat harus menerima konsekuensi kalimat tersebut dengan hati dan lisannya. Seorang yang berikrar syahadat dengan lisannya akan tetapi hatinya menolak kebenaran disebut sbg munafiq I'tiqady. Seperti Abdullah bin Ubai bin Salul, ia berikrar syahadat tetapi hatinya menolak. Ialah contoh munafiq I'tiqady, kendatipun telah berikrar syahadat, namun tak ada indikasi penerimaan konsekuensi syahadat tersebut dalam dirinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ [الأنفال/24]
Wahai orang-orang yang beirman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kepada agama yang menghidupkanmu… (QS. An-Anfal : 24)
Ikrar syahadat baru diterima di sisi Allah apabila disertai penerimaan yang total atas konsekuensi yang menyertainya. Penolakan akan makna dan kandungan syahadat akan berdampak merusak persaksian yang telah diikrarkan.
Allah SWT mengecam kaum yang menolak kalimat tauhid.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36) [الصافات/35، 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka "Laa ilaaha illallah" mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, "Apakah kami harus meninggalkan tuhan-tuhan sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shafat : 35-36)
Ketundukan (Al-Inqiyad)
Ikrar syahadat harus diikuti dengan sikap tunduk terhadap kandungan maknanya dan tidak mengabaikan maksud kalimat syahadat tersebut. Sikap membangkang dan tidak mau tunduk thd ketentuan Allah dan rasul-Nya menjadikan ikrar tersebut tidak bermakna. Sesungguhnya makna Islam itu sendiri ketundukan, di mana seseorang yang masuk Islam diharapkan memiliki sikap tunduk dan patuh terhadap segala aturan yang ada di dalamnya.
Allah SWT berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ [النساء/125]
Siapakah yang lebih baik agamanya dibanding orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia adalah orang yang mengerjakan kebajikan… (QS. An-Nisa' : 125)
Nabi SAW bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa (HR. Imam Nawawi)
Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan konsekuensi keimanan, yang berupa ketundukan sikap tanpa keberatan.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء/65]
Maka demi Tuhanmu, pada hakikatnya mereka itu tidak beriman sebelum menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatanpun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka menerima sepenuhnya. (QS. An-Nisa' : 65)
Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai ayat ini, "Allah bersumpah dengan diri-Nya Yang Mulia lagi Suci, bahwa Rasul SAW sebagai hakim dalam segala persoalan. Apa saja yang diputuskan oleh Nabi SAW adalah kebenaran yang wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Oleh karena itu, Allah mengatakan,… Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatanpun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka menerima sepenuhnya.
"Artinya, jika mereka bertahkim kepadamu, mereka menaati dalam jiwa mereka lalu tidak mendapati rasa keberatan sedikitpun dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan. Mereka mematuhi hukum itu secara lahir dan batin, sehingga mereka tunduk dan pasrah sepenuhnya tanpa perlawanan, proteksi, apologi, maupun penentangan," demikian penjelasan Ibnu Katsir.
Kejujuran (Ash-Shidq)
Setiap orang yang berikrar syahadat harus melakukannya secara jujur, tidak berpura-pura, atau berdusta. Seyogyanya ucapan lisan sejalan dengan pikiran, sekaligus dengan hatinya. Itulah kejujuran sikap. Yakni mengucapkan persaksian secara bersungguh-sungguh tanpa kepalsuan dan kepura-puraan. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui setiap hamba yang benar dan jujur dalam keimanan maupun hamba yang melakukan kedustaan.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) [البقرة/8، 9]
Dan diantara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," padahal mereka itu sebenarnya bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal pada hakikatnya mereka hanya menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah : 8-9)
Rasulullah SAW bersabda,
ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار
Tak seorangpun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya disentuh api neraka. (HR. Bukhari)
Ibnu Rajab mengatakan, "Adapun orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan lidahnya, kemudian ia menaati setan, cenderung bermaksiat, dan menentang Allah sebenarnya perbuatannya itu telah mendustakan perkataannya. Kesempurnaan tauhidnya terkurangi sesuai dengan kadar kemaksiatannya kepada Allah itu dalam menuruti setan dan hawa nafsu."
Kejujuran bukanlah masalah sederhana. Ia perlu diperjuangkan keberadaannya dalam jiwa. Karena nilainya yang demikian tinggi para ulama mengatakan bahwa shidiq adalah salah satu dari induk akhlak.
Rasulullah SAW pun bersabda,
إن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن الرجل ليصدق حتى يكون صديقا وإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا
Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan mengantarkan kepada surga. Seseorang berbuat jujur hingga menjadi ahli berbuat jujur. Dan sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka. Seseorang berbuat dusta hingga ditetapkan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)
Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ [التوبة/119]
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur. (QS. At-taubah : 119)
Ikhlas (Al-Ikhlash)
Amal yang ikhlas adalah manakala amal yang dikerjakan hanya dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT, tidak untuk mendapatkan ridha siapapun diantara makhluk-Nya. Lawan kata dari ikhlas adalah riya, yaitu beramal dengan tujuan selain Allah. Penyakit riya ibarat virus, jika tidak segera diberantas akan melahirkan penyakit syirik, yaitu menjadikan selain Allah sama kedudukannya dengan Allah SWT.
Amal yang ikhlas dapat menenteramkan hati, sekaligus menjadikan amal ibadah kita diterima Allah SWT. Selain itu, keikhlasan dapat menciptakan semangat untuk berjuang dan menanggung semua resiko dari perjuangan yang dilakukan.
Demikian juga, ikrar syahadat harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan karena pengaruh duniawi apa pun dan bukan pula karena pamrih. Dengan itulah, seseorang dapat menjauhkan diri dari segala bentuk kemusyrikan.
Allah SWT berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ [البينة/5]
Mereka itu tidaklah diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama secara lurus… (QS. Al-Bayyinah : 5)
Selain itu, keikhlasan harus senantiasa didampingkan dengan kebenaran. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Sesungguhnya amal perbuatan jika sudah ikhlas namun tidak benar, tidak akan diterima. Jika benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima, sebelum menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas jika hanya karena Allah, sedangkan benar jika mengikuti Sunah Rasulullah SAW."
Jagalah hati kita untuk senantiasa ikhlas, karena itulah kunci pengabulan amalan dan doa-doa kita. Syirik merupakan penghancur amal, sehingga wajib dijauhi agar tidak merusak persaksian syahadat yang telah diikrarkan.
Cinta (Al-Hub)
Syahadat menuntut konsekuensi dan resiko. Pada umumnya, konsekuensi dan resiko memang berat dan tidak ada yang dapat menanggungnya secara lapang dada selain mereka yang hatinya dipenuhi oleh cinta. Cinta hanya akan lahir dari keridhaan, dan ridha itulah yang menjadikan syahadat diucapkan dengan kesungguhan dan kesadaran hati.
Setiap orang yang bersyahadat harus mencintai kalimatnya, mencintai segala yang menjadi konsekuensinya, sekaligus mencintai orang-orang yang konsekuen dengannya. Orang yang telah mengikrarkan syahadat, ia harus mencintai Allah di atas segala-sagalanya dan mencintai segala sesuatu dalam rangka mencintai Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة/165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah… (QS. Al-Baqarah : 165)
Syaikh Al-Hafizh Al-Hakami mengatakan, "Indikasi kecintaan seorang hamba kepada Tuhan adalah mendahulukan cinta kepada-Nya sekalipun hawa nafsunya menentang; membenci apa yang dibenci oleh Tuhannya, sekalipun hawa nafsu cenderung kepada hal tersebut; memberikan loyalitas kepada orang-orang yang berwala' kepada Allah dan rasul-Nya; memusuhi siapa pun yang memusuhi Tuhannya; mengikuti Rasulullah SAW, meniti jalan kenabian, dan menerima petunjuk darinya."
Dalam kaitan ini Ibnu Taimiyah berkata, "Mencintai apa yang dicitai kekasih adalah bagian dari cinta kepada kekasih. Kesiapan menanggung resiko yang berat adalah bagian dari cinta kepada kekasih."
Jika ada orang yang bersyahadat tetapi membenci Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah orang beriman. Lebih dari itu, syahadat itu tidak akan sampai menggerakkan hati untuk tunduk dan pasrah serta siap menanggung resiko perjuangan.
Demikianlah syarat-syarat diterimanya ikrar syhadatain. Jika seorang Muslim mampu memenuhi persyaratan tersebut, maka syahadatnya benar dan akan diterima di sisi Allah SWT.
Syahadat yang benar bukan saja mendapatkan penerimaan dari Allah SWT, namun juga menimbulkan perasaan ridha pada kandungannya. Perasaan ridha menjadi titik awal dari segenap sikap berislam secara total. Dengan ridha itulah kita menerima semua beban syariat dengan tulus, dengan ridha itu kita siap memperjuangkan, dan dengan ridha itu pula kita siap menanggung resikonya. Sedangkan kandungan ridha ini adalah ridha bahwa Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.
Rasulullah SAW bersabda,
من قال حين يمسى رضيت بالله ربًّا وبالإسلام دينًا وبمحمد نبيا كان حقا على الله أن يرضيه
Barangsiapa ketika pagi dan sore mengatakan, "Saya ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi," maka adalah wajib bagi Allah untuk meridhainya. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Hakim). ). [sumber: Buku Seri Materi Tarbiyah; Syahadat dan Makrifatullah]
-------------------
Komentar
Posting Komentar