Orasi Penuh Cinta Anis Matta

Orasi Penuh Cinta Anis Matta
 
post3

Kalau Tjokroaminoto, Soekarno, Natsir, dan Soeharto hadir menyimak orasi ini, saya percaya tokoh-tokoh tadi akan berdiri, berteriak “merdeka!”, atau bahkan menyerukan takbir. Atau sekadar bertepuk tangan. Atau sekurangnya tersenyum dan mengangguk-angguk, tanda persetujuan.
Orasinya ringkas saja. Kurang dari 12 menit. Lebih singkat daripada perjalanan KRL Bogor – Jakarta. Lebih pendek dibanding macetnya “Jalan Casablanca” di ibukota. Tapi isinya padat. Padatnya berisi. Lebih pulen daripada nasi beras Pandanwangi. Lebih manis daripada tebu Brastagi.
Kalimat pembukanya akrab dan romantis: “Saudara-saudaraku yang saya cintai”. Disampaikan sebagai acara penutupan Rapimnas sebuah partai. Sekaligus peringatan hari jadi partai tersebut.
“Tapi… sesungguhnya kita tidak sedang memperingati hari jadi sebuah partai politik. Yang sesungguhnya kita peringati, adalah lahirnya sebuah cita-cita, lahirnya sebuah generasi,” seru Sang Orator.
“Sebab partai politik sejatinya adalah mesin ideologi, bukan kendaraan pribadi menuju kekuasaan,” lanjutnya lagi memberi negasi atas perilaku politisi kebanyakan yang semata memanipulasi suara rakyat atau mempertontonkan kesantunan semu demi pundi-pundi pribadi dan dinasti politiknya.
 
Sang Orator melantangkan orasinya di Semarang, 100 tahun setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto sukses besar menggelar vergadering (rapat akbar) Sarekat Islam pertama di Surabaya. Tapi dari beberapa seri orasi yang disampaikan, tergambar jelas apresiasinya yang luar biasa, terhadap sosok pahlawan nasional itu. Dalam suatu kesempatan lain, dijelaskannya peran strategis Tjokro sebagai guru bagi cikal-bakal ragam aliran perjuangan politik di Indonesia.
“Mereka memilih hidup di Indonesia,” ujar Sang Orator ketika membagikan imajinasinya tentang Indonesia masa depan, “karena di sini mereka punya harapan akan kesejahteraan. Semata-mata karena mereka punya semangat kerja. Siapapun yang ingin bekerja, siapapun yang ingin bekerja, siapapun yang ingin bekerja… seharusnya punya tempat di negeri ini!” seru Sang Orator di hadapan ribuan pengurus dan kader partainya, 89 tahun setelah Tjokro Sang Raja Tanpa Mahkota itu menulis buku “Islam dan Sosialisme”.
Sang Orator baru dilahirkan 23 tahun setelah proklamasi dibacakan di Jakarta. Ia tidak lahir di Blitar, bahkan tidak juga di Pulau Jawa, melainkan di Celebes, tepatnya di Bone, 44 tahun lalu. Tapi demikianlah pemikiran tersambung menyeberang jarak dan lautan, melintasi ruang dan zaman. Intip saja ketika ia mengemasi bukunya setelah mengundurkan diri dari Wakil Ketua DPR, karena tidak mau rangkap jabatan. Di sana ada buku-buku karya dan buku-buku mengenai Sang Proklamator. Tak heran kalau ia fasih mengutip dan mencerna pemikiran Putra Sang Fajar itu.
“Dahulu Soekarno pernah mempunyai ide tentang Trisakti,” kata Sang Orator mengingatkan lagi visi Bung Karno, 49 tahun setelah Presiden Pertama RI itu mengemukakannya dalam pidato peringatan Milad ke-19 Republik Indonesia. “Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” demikian Sang Orator mengutip isi Trisakti.
Sang Orator masih belum lahir, ketika Soeharto pertama kali dilantik jadi Presiden dan mencetuskan trilogi pembangunan. Tapi ia merasakan bagaimana represi rezim itu, hingga kemudian Era Reformasi tiba. Ia pun menjadi Sekjen parpol reformis.
“Yang ingin kita bangun adalah negara manusia. Manusia yang punya hati. manusia yang punya pikiran. Karena itu kita ingin, negara ini mengelola rakyatnya sebagai manusia. Dengan semua mimpi-mimpinya, dengan semua harapannya. Dan memberikan apa yang mereka perlukan sebagai manusia.
“Dan kita ingin, angka-angka statistik dalam politik, dalam ekonomi, dan dalam budaya itu semuanya, pada akhrinya bermuara pada satu cita-cita kemanuisaan yang besar, pada satu cita-cita kemanusiaan yang dialami seluruh manusia, yaitu cita-cita untuk menjadi makhluk yang bahagia di planet ini,” urai Sang Orator pada Jum’at 19 April 2013, 15 tahun setelah Reformasi bangkit, 15 tahun setelah rezim Orba tumbang, rezim yang sempat dikenal mempopulerkan GBHN konsep yang sebenarnya cemerlang yakni “pembangunan manusia seutuhnya”, rezim yang jatuh karena terjerumus terlalu dalam, setelah sempat menikmati masa-masa bulan madu di awal kehadirannya.



Komentar

Postingan Populer