Mengelola Sampah untuk Membangun Rumah | Oleh Irfan A. Darfiansyah


Apakah Anda berpikir bahwa saya hendak menjelaskan kepada Anda bagaimana cara merangkai sampah-sampah menjadi sebuah karya semacam kerajinan tangan berbentuk rumah? Tidak. Saya benar-benar hendak menyampaikan bahwa kita memang bisa membangun rumah dengan bahan dasar sampah.

Ide ini muncul dari aktivitas beberapa orang di sebuah area kecil yang berjarak beberapa meter dari gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) tepatnya di pinggiran sungai Cikapundung. Area tersebut adalah unit pengolahan sampah ITB. Berdasarkan penuturan Pak Apep, salah seorang karyawan yang mengkoordinir aktivitas ini, sejak tahun 2005 persisnya sejak Kota Bandung mendapat julukan “Bandung lautan sampah”, kampus ITB sudah tidak pernah lagi mengirimkan sampahnya ke TPA. Seluruh sampah di ITB, baik organik maupun anorganik, telah mampu dikelola dan diolah secara mandiri oleh ITB.


Yang unik adalah, seluruh sampah yang dikelola oleh unit ini diolah menjadi berbagai produk yang bermanfaat. Salah satunya adalah bahan dasar yang sangat penting untuk membangun rumah, yaitu batu bata. Bagaimana cara menyulap sampah-sampah itu menjadi batu bata? Sampah bagaimanakah yang bisa dibuat menjadi batu bata?


Begini, secara umum, sampah dapat dikelompokkan sebagai sampah organik dan anorganik. Sampah organik contohnya dedaunan, sisa-sisa makanan, dan sejenisnya, sedangkan sampah anorganik contohnya botol plastik, wadah plastik dan sejenisnya. Nah, sampah anorganik yang sebagian besar berupa plastik inilah yang nantinya dapat dibuat batu bata.

Sampah jenis ini diolah dengan cara insenerasi atau pembakaran pada suhu tinggi. Umumnya digunakan suhu 800ºC atau 1000ºC bahkan lebih. Pembakaran pada suhu tinggi ini dilakukan untuk mencegah terbentuknya dioksin, yaitu suatu senyawa beracun yang bersifat lipofil dan dapat terakumulasi dalam tubuh, sebagai hasil samping pembakaran plastik pada suhu rendah.

Dari pembakaran sampah anorganik ini dihasilkan panas dan abu. Abu inilah yang dijadikan sebagai bahan baku untuk membuat batu bata. Abu tersebut diayak dan dicampur dengan sejumlah kecil semen dan kapur dengan formula tertentu sehingga menjadi adonan batu bata, kemudian dicetak dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Dari proses tersebut diperoleh batu bata yang secara kualitas tidak jauh berbeda dengan batu bata yang dibuat dari pasir.


Produk lainnya yang sedang dikembangkan dan tak lama lagi akan diproduksi adalah paving block dari abu pembakaran sampah. Tentu saja dengan formula yang berbeda. Hal lain yang masih dalam pembahasan adalah pengolahan panas pembakaran menjadi sumber panas untuk memanaskan aquadest, sterilisasi media tani jamur, atau menjadi bentuk energi lain seperti listrik yang dapat digunakan untuk memenuhi keperluan listrik setempat. 


Sementara itu, sampah organik telah lama diolah dengan teknik komposting dan telah menghasilkan pupuk dengan merk “Kompos Ganesa” yang telah dijual hampir di seluruh toko bunga di kota Bandung.


Pemberdayaan ekonomi masyarakat
 
Hingga saat ini, unit pengolahan sampah ITB telah mengkaryakan 8 orang karyawan. Umumnya, dalam satu hari dapat diperoleh sekitar 20 kubik sampah dengan komposisi kasar fifty-fifty antara sampah organik dan anorganik. “Kalau sedang ada acara di kampus seperti wisuda, seminar, dan acara besar lainnya, biasanya sampah anorganik akan lebih banyak lagi” tutur Pak Apep kepada penulis. 


Artinya, setiap harinya ada sekitar 10 kubik sampah organik yang dapat diolah menjadi pupuk kompos. Menurutnya, dari setiap kubik sampah organik dapat dihasilkan 100 kg pupuk halus, dengan harga jual per sak pupuk (3 kg) sebesar Rp 3.000,- bahkan lebih. Kasarnya, jika ada 10 kubik sampah per hari, maka pupuk yang dihasilkan per hari sebanyak 1000 kg, dan uang yang dihasilkan per hari dari penjualan pupuk adalah sebesar satu juta rupiah! Ini baru bicara sampah organik saja dan sampah dari kampus ITB saja! Bagaimana dengan produk olahan sampah anorganik lainnya jika telah dikelola secara optimal dan bagaimana jika sampah-sampah di tempat lain dapat dikelola juga?

Kalau saja setiap kecamatan di Kota Bandung dapat mengadopsi sistem pengolahan sampah seperti ini, tentu sampah tidak lagi hanya dipandang sebagai sumber masalah kebersihan kota, pencemaran lingkungan, sarang penyakit, dan penyebab banjir. 


Sampah justru akan menjadi salah satu potensi ekonomi masyarakat yang dapat mengatasi tingginya angka pengangguran di kota ini. Jika setiap kita memandang sampah sebagai potensi ekonomi, sebagai sumber uang, masih adakah yang rela membiarkan “uang” itu tercecer di jalanan atau dibuang seenaknya ke selokan dan sungai? 

Jika tidak ada lagi yang membuang sampah ke selokan dan sungai, masih perlukah banjir terjadi setiap kali datang hujan? Jika sampah telah dikelola dengan apik, masih perlukah kita melihat sampah dibiarkan menumpuk di pusat keramaian dan menjadi sarang penyakit bagi penghuni kota? Masihkah relevan kita menganggap sampah sebagai masalah kota saat ini? Mari kita jawab dengan tangan kita!

Sumber :
http://iadarfiansyah.blogspot.com/2010/08/mengelola-sampah-untuk-membangun-rumah.html

Komentar

Postingan Populer