Masril Koto : Pendiri 900 Bank Tani
Pria kampung asal Sumatara Barat, Masril Koto pendiri Bank Tani dalam bentuk LKMA Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Baso, Agam, Sumatra Barat. Dia bersama teman petani lainnya merintis lembaga keuangan itu sejak tahun 2002, namun setelah empat tahun kemudian tahun 2006
baru resmi didirikan setelah Masril dan kawan-kawan petaninya
mendapatkan pelatihan keuangan dalam bentuk akutansi sederhana dari
Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.
Sistim bank yang didirikannya itu diadopsi oleh pemerintah dan menjadi
cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP)
nasional.
Bank Tani
Masril mendirikan sebuah lembaga keuangan yang bernama LKMA Prima
Tani, tempat dimana para petani bisa mendapatkan pinjaman untuk tambahan
modal usaha . Banyaknya petani yang sulit mencari pinjaman modal
menginspirasi Masril untuk membentuk lembaga keuangan para petani yang
disebutnya Bank Tani atau Bank Petani tersebut. Ia menjadi pendiri LKMA
Prima Tani di Nagari Koto Tinggi. dan 580 LKMA lain yang tersebar di seantero Sumatera Barat yang kesemuanya memiliki aset mencapai 100 miliar rupiah. Setiap LKMA yang dibinanya memiliki minimal 5 karyawan yang biasa diambil dari anak-anak petani, terutama mereka yang
putus sekolah. Hal ini ditujukan untuk mengurangi angka pengangguran.
Bank Tani Maros
Saat ini, Masril sedang berusaha mendirikan LKMA atau Bank Tani di Kec Tanralili, Maros, Sulsel. Niat baiknya ini ia kemukakan dihadapan pejabat dan pelaku usaha yang menghadiri Seminar Nasional Inklusi
Keuangan Kawasan Timur Indonesia di Hotel Sahid Makassar, dimana Masril
yang hanya menggunakan sandal jepit menjadi pembicara dalam kuliah umum
tersebut. Ia memfokuskan Bank Tani Maros untuk petani capai terlebih dahulu, sebelum merambah petani-petani lainnya, dengan mekanisme sama seperti Bank Tani yang didirikannya di Sumbar dan tetap memerhatikan kearifan lokal. Kemajuan Bank Tani Maros terlihat dari sudah adanya seratus petani yang akan menjadi pemegang saham pertama, dimana petani-petani tersebut mayoritas adalah petani yang tidak menikmati KUR.
Kehidupan
Masril Koto merupakan anak pertama dari delapan bersaudara. Di kampung halamannya, ia adalah petani dan peternak. Namun, sejak tahun 2006 ia adalah seorang banker. Masril berperawakan kecil, berkulit sawo matang, berkumis lebat, bertampang lucu, dan murah senyum.
Masril juga seorang yang sederhana. Hal ini tercermin dari
penampilannya dalam setiap acara. Misalnya, ia menggunakan sandal jepit
saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Inklusi Keuangan Kawasan Indonesia Timur dan menggunakan kaos putih serta jaket dan celana kain hitam dalam acara Kick Andy yang menjadikan ia sebagai tamu paling sederhana di antara tamu lainnya.
Pendidikan
Masril adalah seorang yang tak tamat SD. Ia meninggalkan bangku SD saat berada di kelas 4 karena kendala keuangan. Ia hanya pernah mengikuti sekolah lapangan (SL) petani dari Dinas Pertanoian Sumber di Nagari Tabek Panjang, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam
Membangun 900 Bank
Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi jalar
di kampungnya, di Baso, Agam, Sumatera Barat (Sumbar), Masril Koto
bertekad membuat bank petani. Kini ia telah membangun 900 Bank Tani berbentuk lembaga keuangan mikro-agribisnis (LKMA) di seluruh Indonesia. Sistem bank ini juga diadopsi oleh pemerintah dan menjadi
cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Nasional. Bank inilah yang kemudian mengantarkan pria asli Minang itu memenangi berbagai penghargaan sebagai social entrepreneur.
Seperti sebagian pria Minang lain, Masril muda merantau ke Jakarta pada 1994. Masril yang hanya tamat kelas 4 SD ini ikut membaca materi-materi kuliah dari foto copyan tempatnya bekerja. Pria kelahiran 13 Mei 1974 ini juga belajar berorganisasi dari para mahasiswa. Tempat Masril bekerja menjadi tempat berkumpul para perantau asal Sumbar. "Di Jakarta, saya belajar berorganisasi," ujar Masril.
Setelah empat tahun di Ibu Kota, Masril pulang ke Agam, setibanya di kampung, ia aktif di organisasi kepemudaan Karang Taruna di kampungnya, Banu Hampu. Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda. "Kebetulan ada jalan baru di depan ruko," tutur Masril.
Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya menjadi milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Diundang Bank Indonesia
Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait, para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali tampil. "Saya merasa punya talenta berorganisasi," kata dia.
Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia menanyakan cara-cara mendirikan bank, tetapi ia tak pernah mendapat jawaban memuaskan. "Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri," ujar dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di kabupatennya. Hingga suatu ketika, ada sebuah pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut. Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk-beluk pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor BI.
"Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," ujar dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani, dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. Setelah empat tahun melewati perjuangan melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk tabungan, sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang paham produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan dan catatan kredit seperti bank pada umumnya.
Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank petani ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM Prima Tani ini.
Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM, Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. "Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya," tutur dia.
Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke kelompok-kelompok petani di Sumatera Barat, tanpa bayaran sepeser pun. "Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya," kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar sebagai pencetus bank petani.
Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini ke seluruh daerah di Indonesia. "Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di desanya," katanya.
Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani.
Masril yang kini sering tampil sebagai pembicara, sebagai wakil BI atau dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA pada 2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya daerah yang belum terjamah institusi keuangan.
Seperti sebagian pria Minang lain, Masril muda merantau ke Jakarta pada 1994. Masril yang hanya tamat kelas 4 SD ini ikut membaca materi-materi kuliah dari foto copyan tempatnya bekerja. Pria kelahiran 13 Mei 1974 ini juga belajar berorganisasi dari para mahasiswa. Tempat Masril bekerja menjadi tempat berkumpul para perantau asal Sumbar. "Di Jakarta, saya belajar berorganisasi," ujar Masril.
Setelah empat tahun di Ibu Kota, Masril pulang ke Agam, setibanya di kampung, ia aktif di organisasi kepemudaan Karang Taruna di kampungnya, Banu Hampu. Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda. "Kebetulan ada jalan baru di depan ruko," tutur Masril.
Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya menjadi milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Diundang Bank Indonesia
Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait, para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali tampil. "Saya merasa punya talenta berorganisasi," kata dia.
Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia menanyakan cara-cara mendirikan bank, tetapi ia tak pernah mendapat jawaban memuaskan. "Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri," ujar dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di kabupatennya. Hingga suatu ketika, ada sebuah pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut. Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk-beluk pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor BI.
"Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," ujar dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani, dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. Setelah empat tahun melewati perjuangan melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk tabungan, sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang paham produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan dan catatan kredit seperti bank pada umumnya.
Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank petani ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM Prima Tani ini.
Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM, Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. "Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya," tutur dia.
Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke kelompok-kelompok petani di Sumatera Barat, tanpa bayaran sepeser pun. "Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya," kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar sebagai pencetus bank petani.
Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini ke seluruh daerah di Indonesia. "Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di desanya," katanya.
Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani.
Masril yang kini sering tampil sebagai pembicara, sebagai wakil BI atau dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA pada 2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya daerah yang belum terjamah institusi keuangan.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Masril_Koto
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/03/1055218/Pria.Tak.Lulus.SD.Ini.Membangun.900.Bank.di.Kampung
wiih keren, terimakasih atas informasinya semoga bermanfaat dan menambah ilmu juga wawasan .. nice post
BalasHapusST3 Telkom